WILWATEKTA.ID – “Selamat ulang tahun Wiji Thukul. Andai kamu tidak diculik dan dihilangkan, tepat 26 Agustus ini usiamu genap 58 tahun.”
Tepat hari ini, Kamis, 26 Agustus 2021, 58 tahun lalu sosok penyair cum aktivis Wiji Thukul lahir di Kampung Sorogenen, Solo. Meski tidak jelas dimana rimbamu berada, namun puisi-puisi perlawananmu akan terus bergema dan berlipat ganda. Memburu siapa saja yang merasa.
Saya termasuk orang yang sangat bergairah saat membaca puisi Wiji Thukul. Namun, apakah gairah yang serupa juga dirasakan oleh para penyair dan aktivis saat ini. Entahlah!
Wiji Thukul adalah simbol perlawanan melalui kata-kata pada zamannya. Puisi-pusinya sangat keras menghantam hati penguasa yang dzalim. Lantang dan tidak pernah takut dibendung penguasa.
Sebagai pribadi yang sangat mengagumi Wiji Thukul, saya meyakini setiap puisinya adalah letupan-letupan perlawanan yang murni dalam jalur perjuangan. Tidak seperti kebanyakan aktivis era kiwari, yang hanya lantang di depan dengan dalil membela kebenaran, tetapi takut lapar dan diam-diam begitu menjengkelkan saat sudah mendapatkan cuan.
Melihat para aktivis yang demikian, ingin rasanya berdiri gagah di depan kampus mereka, lalu membacakan puisi Wiji Thukul yang berjudul “Sungguh Enak Hidup di Televisi” yang sudah saya improvisasi dengan keadaan saat ini.
Sungguh enak menjadi aktivis pasca reformasi
tak ada lagi bau keringat memperjuangan demokrasi
tak ada kecemasan
tak ada baku hantam dengan aparat saat demonstrasi di jalan
tak ada idealisme perjuangan
waktu dihabiskan,
hanya untuk senang-senang
Sungguh enak menjadi aktivis pasca reformasi
saat demo bisa sambil tertawa
ada banyak buku di perpustakaan tapi tidak pernah dibaca
pejabat-pejabat tersenyum saat melihat mahasiswa diam saja
buruh-buruh sudah tidak lagi percaya saat diajak demo bersama
pejabat-pejabat gaji cukup, buruh semakin merana
Sungguh enak menjadi aktivis pasca reformasi…
Namun di luar itu semua, saya masih yakin perjuangan kata-kata dari setiap pusi Wiji Thukul tidak akan pernah mati. Dia boleh dihilangkan dan dilenyapkan karena keberaniannya mengkritik penguasa. Namun, serupan puisinya yang berjudul “Peringatan”. Puisi itu akan terus menggema saat dibaca dengan suara yang lantang.
Suaraku tak bisa berhenti bergema.
Di semesta raya suaraku membara.
Walau kau terus saja coba membungkamnya.
Namun suaraku tak pernah bisa kau redam.
Karena kebenaran akan terus hidup.
Sekalipun kau lenyapkan kebenaran takkan mati.
Aku akan tetap ada dan berlipat ganda.
Siapkkan barisan dan siap untuk melawan.
Akan terus memburumu seperti kutukan.
Aku bukan artis pembuat berita.
Tapi, aku memang selalu kabar burut buat penguasa.
Puisiku bukan puisi.
Tapi kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakkan mencari jalan.
Ia tak mati-mati meski bola mataku diganti.
Ia tak mati-mati meski bercerai.
Dengan rumah dan ditusuk-tusuk sepi.
Ia tak mati-mati telah kubayar yang dia minta.
Umur, Tenaga, Luka.
Kata-kata itu selalu menagih.
Padaku ia berkata kau masih hidup.
Ya, aku masih hidup dan kata-kataku belum binasa.
Kebenaran takkan mati.
Pun sebagai pesan untuk mengingatkan penguasa. Puisi Wiji Thukul akan terus menggema sepanjang masa. Menjebol setiap dinding telinga penguasa yang anti kritik. Membuat resah dan gerah bagi penguasa yang tidak pernah merasa bersalah meski telah membuat rakyat susah. Kala sudah demikian, maka saatnya memberikan “Peringatan”.
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Wiji Thukul, 1986