WILWATEKTA.ID – Bagaimana tidak, bisa saja jika para elit politik berhasil menjadikan salah satu dari wacana tersebut sebagai kebijakan, peluang kelompok anti demokrasi untuk selalu cari peluang mengutak-atik proses instutisionalisasi demokrasi nasional akan semakin besar. Atas bergulirnya wacana presiden tiga periode pun juga sudah mendapatkan respon berbagai elemen. Mulai dari mahasiswa pergerakan dan para pakar solitik. Melihat kondisi yang cukup rumit, seolah para elit politik dan partai kualisi rezim Presiden Joko Widodo masih ngotot jika Pak De harus tiga periode. Ini semacam parasit politik yang harus segera dituntaskan. Antisipasi tersebut perlu dilakukan jika ingin menyelamatkan demokrasi Indonesia.
Jika jabatan presiden berhasil diubah tiga periode, tidak menuntut kemungkinan para pengasong politik akan mengusulkan jabatan presiden seumur hidup. Lahh, ngapain kemarin harus ada reformasi 98 segala. Hambok Mbah Harto mawon presiden seumur hidup. Opo ijek kangen sama Mbah Harto.
“Piyeee? Enak jamanku tohhh”.
Seharusnya kita ulas kembali. Kenapa jabatan seorang presiden harus dibatasi. Yuuk, kita ulas. Siap maszehhh.
Setelah Presiden Soeharto terguling, sejumlah elemen masyarakat menuntut, salah satunya adalah perubahan (amandemen) UUD I945. Tuntutan itu kemudian direspon oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Melalui panitia Ad Hoc (PAH) Badan Pekerja, MPR menggodok dan melakukan amandemen beberapa pasal. Salah satunya adalah pasal 7 tentang masa jabatan presiden. Pasal 7 UU 1945 sebelum diamandemen berbunyi demikian:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatanya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Selain itu. Pembatasan masa jabatan presiden adalah untuk menghindari terjadinya tirani kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Perilaku itu akan muncul akibat pemusatan kekuasaan secara absolut pada presiden.
Sebagaimana diketahui oleh masyarakat Indonesia bahwa, presiden di negara yang menganut sistem presidensial tidak hanya bertindak sebagai kepala negara, tetapi juga kepala pemerintahan. Oleh karenanya, otoritasnya sangat besar. Sehingga, jika masa jabatannya tidak dibatasi, dengan kewenangan yang ada ditambah penumpukan kekuasaan melalui penempatan orang-orang yang sendiko dawuh (manut) pada kehendak presiden, fungsi kontrol (check and balances) bisa melemah.
Seharusnya ini menjadi pengertian opu soal kengeyelannya, ingin mendorong Pak De maju menjadi presiden tiga periode. Opuu!, panjenengan sukanya kok bikin gaduh toh.
Piye toh kihhh. Kok geting akuu!
Kalau tidak salah, pada tahun 2019 Pak De pernah menyampaikan ke publik. Pak De merasa bahwa jabatan presiden tiga periode hanya akan menjerumuskannya.
Selain itu, Pak De pernah berstetmen atas usulan tersebut.“Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga motif. Menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja, kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, 2 Desember 2019.
Lah, Pak De terkesan malu-malu mau ogh. Kayak biasanya gitu loh. Gercab, sat-set. Wat-wet.
Panjenengan kan punya otoritas untuk mengambil kebijakan. Seharusnya, jika ada menteri atau partai kualisi bikin gaduh soal wacana presiden tiga periode. Jewer aja. Kalau perlu, menteri yang nakal resufle aja. Kayak kemarin-kemarin. Menteri yang gak serius kerja copot, membuat kegaduhan di masyarakat pecat.
Jangan sampai wacana presiden tiga periode terus bergulir. Hal ini akan membuat Indonesia terjebak pada konsolidasi non-demokrasi, kembali pada jaman Orba. Maka bukan tidak mungkin, gerakan-gerakan masyarakat sipil akan terulang kembali. Seharusnya perilaku pemotongan demokrasi dan dehumanisasi harus dijauhkan dari Indonesia.
Indonesia adalah negara demokrasi, menjunjung tinggi nila-nilai toleransi. Ini yang menjadikan pembangunan negara berjalan dengan baik. Demi mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat juga sangat paham. Pembangunan memerlukan soliditas yang kuat. Sehingga ketika ada oknum yang ingin mengkebiri proses demokrasi di Indonesia. Harus betul-betul diantisipasi.