WILWATEKTA.ID – Sore itu suasana agak terasa panas. Meski matahari sudah condong ke barat, tapi teriknya masih terasa menyengat. Jika tidak ada angin yang berhembus, mungkin semakin panas daerah yang padat pabrik itu. Hampir dipastikan, kulit para penggarap lahan akan semakin legam, terkena panas, tertempel serpihan debu dan asap pabrik. Belum lagi musim kemarau, daerah industri semakin panas.
Di salah satu pematang sawah dekat dengan Galian C, ada beberapa remaja laki-laki yang sedang memancing. Mereka duduk santai, walaupun hanya mancing di bekas lahan tambang. Sesekali mereka memandangi hasil tangkapan yang diperoleh. Melirik kekanan-kekiri, apakah suatu saat masih bisa digunakan untuk mancing. Karena kabar yang beredar, embung tersebut akan digunakan untuk program pemberdayaan Ring 1 perusahaan.
“Mungkin kamu bisa tidur nyeyak, Ca. Meskipun masyarakat di dekat industri itu sedang terancam, antara hidup dan mati,” ucap bocah gendut yang doyan tidur itu. “Apakah suatu saat kamu bisa merubahnya?” seloroh Parman.
Panca langsung menoleh ke wajah temannya itu. Lalu dengan suara berat ia menjawab, “Suatu saat kalau aku sudah besar ingin jadi Bupati. Biar bisa merubah keadaan masyarakat, Man,” jawab Panca.
“Beneran, Ca? Memang kamu pengen seperti bapakmu?” bocah gendut itu masih bertanya.
Panca hanya tersenyum. Ia tak segera menjawab pertanyaan temannya itu, tapi malah fokus memandang Joran pancingnya. Saat ada ikan yang tersangkut pada pancing, Panca. Ia tertawa senang kegirangan. Hal itu membuat temannya ikut senang.
“Kamu beruntung, Ca,” tanya Parman memastikan.
“Kok gak ada ikan yang nyangkut di pancingku ya,” keluh Parman dengan wajah memelas.
Panca hanya tersenyum dan meledek temannya itu, “Tinggal tidur aja, nanti juga nyantol sendiri. Hehe,” seloroh Panca sambil tertawa.
Mengetahui teman-temannya sedang menertawakan Parman. Panca pun langsung menghentikan tawanya. Sesekali ia menoleh ke arah teman-temannya. Tak lama kemudian, anak lelaki yang gagah dan ganteng diantara temanya itu berkata, “Aku bukan meledekmu, Man. Jujur saja, Man. Aku paling seneng kalau lihat kamu cemberut. Muka tembem kamu gemesi.”
Panca kembali melempar pandangannya ke tengah embung. Ia masih semangat dan fokus pada Jorannya.
“Jadi, kamu seneng kalau aku marah, Ca?” tanya Parman.
Panca yang semula fokus memancing, kemudian menoleh pada Parman. Menatap wajah temannya itu dengan senyum. “Nggak, Man. Aku hanya bercanda. Bagaimanapun juga, kamu adalah teman terbaik yang selalu bersamaku.”
“Tapi, tadi kamu bilang, kalau aku marah semakin lucu. Gini aja, aku maafin kamu. Tapi dengan satu syarat, ikan yang kamu dapat boleh aku makan semua,” jawab Parman sambil merayu.
Apa yang dikatakan oleh temannya itu membuat Panca tertawa. Jika pikiran temannya itu yang ada hanya makan dan makan. Setiap Parman marah, pasti minta sesuatu yang berbau makanan. Pokok bisa dipastikan.
“Ya, ini yang membuat kamu jadi pemalas, Man. Apa-apa kok makan, Panca kembali meledek. Setelah beberapa saat kemudian, Aku pengen, Man. Jika suatu saat aku jadi pemimpin. Kamu harus bisa dampingi aku kemana saja. Kalau kamu apa-apa makan, terus gimana?. Kalau kamu gak tahan lapar, aku jadi khawatir. Jangan-jangan kalau kamu jadi pemimpin suka korupsi, Panca meledek.”
Parman dan teman-temannya memandang Panca dengan lekat. Mereka tahu, kalau Panca memang cerdas sejak dalam kandungan. Mungkin karena trah Bupati. Selain itu, guru-gurunya juga mengakui itu. Bahwa Panca cerdas dalam berbagai mata pelajaran di sekolah, Matematika, Fisika, Bahas Inggris dan Bahasa Jawa. Di sisi lain, ia juga memiliki jiwa kepemimpinan. Dalam segala hal tidak mau mengalah, berani melakukan apapun jika kehendaknya tidak dituruti.
“Aku tahu, Man. Sutau saat mimpiku akan jadi kenyataan. Ibuku pernah bilang, jika aku besar, harus berani menjadi Bupati seperti Bapak,” tegas Panca.
Parman melepas senyum pada Panca. Sejurus kemudian ia menjawab, “Emangnya kamu mau menjadikan apa. Kamu tahu sendiri, Ca. Aku hanya anak buruh pabrik. Dimata orang banyak, aku bukan siapa-siapa. Sebagai anak buruh pabrik, bisa sekolah samapai kuliah itu sudah cukup,” terang Parman dengan nada lemas.
Panca hanya menganggukan kepala mendengar jawaban teman karibnya itu. “Jangan salah Man. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Aku pengen kamu nanti jadi wakilku,” Panca merayu dengan sabar.
“Bayangkan, Man. Kita jalan beriringan menjadi Bupati dan Wakil Bupati. Pasti pandangan orang lain terhadap kamu berbeda. Anak buruh pabrik jadi Wakil Bupati. Pasti keren, Man, tambah Panca.”
“Iya benar, jawab Parman, Jika aku jadi Waki Bupati, semua orang akan menghormati Ayah dan Ibuku. Mungkin ayah, juga tidak perlu setiap hari mendengar kebisingan mesin penggiling batu, dan Ibu tidak perlu ke pasar pagi-pagi menjual jagung goreng.”
Semua teman-teman mereka mendengarkan pembicaraan Panca dan Parman. Sebagai bocah yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Panca dan Parman cukup jauh dalam urusan diskusi. Mereka berdua termasuk remaja yang cukup jauh dalam menatap masa depan.
Bersambung…