WILWATEKTA.ID – Panca mengangguk-ngangguk mendengar perkataan, Sang Ibu. Setelah dipikir-pikir, benar juga apa yang dikatakan, Sang Ibu. Suntoro mungkin sudah terlalu lama menunggu keputusan jawaban. Mengingat hampir enam bulan ia tak memberikan jawaban.
Benar juga yang Ibu katakan. Bisa saja Pak Suntoro menungguku terlalu lama, kata panca pada Sang Ibu.
Itulah yang Ibu khawatirkan. Kamu mempunyai kebiasaan yang tak pernah hilang. Masih manja, cengeng dan tak pernah yakin dalam menentukan jalan. Kamu itu sudah saatnya lepas dari gendongan Ibu, sahut Dewi Widiyastuti dengan dahi mengkerut.
Panca hanya manggut-manggut mendengar perkataan Ibunya. Baiklah, Bu. Secepatnya aku akan memberikan jawaban pada, Pak Suntoro. Semoga saja ia tak tersinggung, karena sudah terlalu lama menunggu jawaban dariku. Apalagi kemarin juga sempat aku bentak, terang Panca.
Kata-kata Panca membuat Sang Ibu kaget. Apa..? Kamu membentak Pak Suntoro. Kamu jangan keterlaluan. Dia itu orang kesetiaan Ibu dan Bapak. Bahkan, kamu bisa seperti sekarang, itu juga berkat kerja keras Pak Suntoro, sahut Dewi Widiyastuti dengan raut wajah memerah.
“Setinggi apapun jabatanmu, jangan pernah kamu merasa besar kepala. Kamu tahu, jabatan itu menjadi tak berarti, jika kamu menjadi pemimpin yang sombong. Bahkan, jika kamu lupa tanggungjawabmu sebagai seorang pemimpin. Itu akan membuat banyak orang sakit hati, lanjut Dewi Widiyastuti dengan nada marah.
Tak lama kemudian, Panca memberikan jawaban. Ibu, aku minta maaf, jika aku memang salah. Aku khilaf, karena kemarin. Pikiranku sedang kacau, aku sangat tersinggung, banyak masyarakat di dunia maya sedang mengejekku. Mereka mengatakan, aku gagal, aku tidak pecus memimpin Negeri Sakanagara, jawab Panca dengan wajah lesu.
“Boleh saja kamu marah. Tapi kamu jangan lupa, politik memang seperti itu. Sebelum kamu nyalon jadi bupati, Ibu kan sudah bilang. Menjadi pemimpin itu harus banyak akal, jangan mudah terbawa emosi. Dan ingat, pro kontra itu hal biasa dalam bahasa pemerintahan, jawab Dewi Widiyastuti.
Meskipun malam sudah larut, Panca dan Dewi Widiyastuti masih bercengkrama.
Panca sangat kaget atas reaksi yang diberikan, Sang Ibu. Ia tidak menyangka, Ibu yang selalu lemah lembut dan terkenal beretika kejawen itu bisa marah. Bahkan sangat marah.
Sebagai seorang Ibu, aku tidak ingin, jika kamu tidak berhasil memimpin Negeri ini. Kamu tahu, keberhasilan itu ditopang oleh pembisik yang kuat dan cerdas. Salah satunya adalah Pak Suntoro. Apapun yang kamu lakukan, Ibu selalu memperhatikan dari jauh. Jangan sampai, keogoisanmu itu membawa petaka, tegas Dewi Widiyastuti seraya menatap wajah putranya.
Panca hanya terdiam mendengar amarah Ibunya. Tak lama kemudian, ia menatap wajah Ibunya dengan rasa bersalah.
Matanya berkaca-kaca, tak terasa air mata menetes. Panca memegang tangan Ibunya, seraya meminta maaf. Mungkin merasa bersalah tidak mendengarkan saran Suntoro. Padahal ia adalah orang kepercayaan, Sang Ibu. Setelah itu, perasaan Panca semakin berkecamuk. Menangkap berbagai saran dan amarah yang telah dilontarkan, Sang Ibu. Maklum, sejak kanak-kanak sampai kuliah. Panca tidak pernah melihat kemarahan Ibunya sampai sehebat itu. Dari kecil, Panca selalu dimanja, dibentak, bahkan ditegur saja tidak pernah. Sehingga menjadikan dirinya manja. Ia berpikir, bahwa kemarahan yang keluar dari mulut Ibunya adalah tamparan keras.
Beberapa saat kemudian, Panca mulai menampakan ketegaran dan menemukan titik terang, atas kegelisahan yang mengunci pikirannya. Ia merasa, angin segar sedang mengirinya.
Bersambung…