WILWATEKTA.ID – Setiap kontestasi politik pasti ada yang kalah dan menang. Dan ini pemandangan lumrah yang harus dilewati oleh calon dan Tim Sukses (Timses). Karena pesta demokrasi adalah pendidikan politik bagi masyarakat. Jadi, tidak perlu berdampak pada konflik berkepanjangan. Karena yang dirugikan masyarakat luas. Apalagi tahun 2024 memasuki pesta demokrasi.
Ini merupakan bagian dari proses pendewasaan politik bagi masyarakat dalam membangun sebuah negara. Entah latar belakang NU, Muhammadiyah ataupun non muslim. Semua harus kembali pada ego masing-masing. Ingat, yang menang jangan jumawah, yang kalah jangan memendam amarah. Karena siapapun yang menang tetap akan menjadi pemimpin bagi masyarakat.
Selain itu, yang terpilih siap mengemban amanah dengan baik. Karena itu yang paling terpenting. Dan yang kalah, belajar dari kekalahan. Agar bisa berpikir bijak. Sehingga mampu menyiapkan kembali apa yang menjadi tujuan baik.
Sesuai dengan peraturan dan kesepakatan berbangsa dan bernegara. Mengapa demikian?, karena Nabi Muhammad SAW bersabdah, “Sesungguhnya orang beriman, itu terikat dengan konsensus dan kesepakatan dalam kehidupannya.“
Kita juga sepakat hidup bergandengan satu bangsa, satu negara, satu nusa, satu bahasa, yaitu Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati, Pancasila dipertahankan, UUD 1945 harus kita amalkan, dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, NU merupakan organisasi yang paling dewasa dalam mengawal segala hal, baik dalam politik maupun problem keumatan. Slogan, jika musuh negara, artinya adalah musuh NU. Ini menjadi ageman sejak negara berdiri. Jangan sampai terhanyut dalam politik praktis, namun lupa subtansi politik untuk kesejahteraan rakyat. Semua harus kembali pada pendewasan pola pikir dan gerakan yang bijak. Sekali lagi, keutuhan lebih penting.
Seluruh santri dan kader NU harus siap untuk bela negara. Kita patut bersyukur bila sebuah negara anak mudanya memiliki kepedulian, kepekaan terhadap nasib masa depan negaranya. Hal ini menandakan bahwa sebentar lagi Indonesia akan menjadi negara besar. Negara yang di sifati, ‘baldatun toyibatun warobun ghofur.’ Negara yang dipenuhi oleh rahmat Allah, di penuhi dengan maghfiroh Allah, dan dipenuhi nikmat anugerah karunia dari Allah Swt.
Bahwa dalam momen Pemilu 2024 nanti sebagai bahan refleksi diri untuk senantiasa menanamkan rasa, hubbul waton minal iman. Siapapun yang menjadi pemimpin, sudah menjadi kesepakatan. Itulah yang harus dikawal.
Kesepahaman menjadi salah satu cara bagaimana membangun ciri khas politik yang baik. Sehingga dengan demikian mampu membangun satu laboratorium politik kemanusiaan. Semua orang yakin, NU satu organisasi besar di Indonesia bahkan di Asean yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin terbaik bagi bangsa dan negara.
Semua tokoh NU tahu bahwa, kekuasaan adalah tempatnya napsu. Perebutan kekuasaan baik itu Pilkades, Pileg, Pilkada, Pilgub dan Pilpres. Disitulah tempat orang bertarung mempertaruhkan hawa napsu. Kembali bahwa, membela negara lebih penting dari pada segalanya.
Karena NU adalah perekat bangsa, sebagai jangkarnya NKRI. Kalau NU suka bertengkar, maka negara akan terpecah. Oleh sebab itu, semua komponen jam’iyah nahdlatul ulama harus merfleksikan kembali apa yang perlu dipersiapkan kembali untuk mempersiapkan Indonesia mendatang.
Menjadi tokoh sejati lebih bijaksana dari pada menjadi penjahat. Dan itu lebih tinggi dari dunia dan seisinya. Dari pada berjuang hanya soal kepentingan kelompok. Hal ini hanya akan merusak tatanan negara. Sehingga problem tersebut, harus dipangkas oleh jam’iyah nahdlatul ulama.