Wilwatekta.id – Islam Emansipatoris mempunyai komitmen yang kukuh terhadap demokrasi, pluralisme, relasi antar agama, Gender, HAM, dan keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut merupakan instrumen bagi terwujudnya masyarakat yang berkeadaban.
Perbedaan antara Islam Emansipatoris dengan model Islam yang lain terletak pada paradigma dan perspektif. Islam Emansipatoris memberikan perhatian secara khusus terhadap teks, karena ditenggarai teks telah menjadi arena kontestasi di antara berbagai aliran keagamaan.
Di satu sisi, ada semacam upaya politisasi teks, dengan menjadikan teks sebagai dokumen hukum dan politik yang mesti diterapkan sebagai alternatif perubahan ke arah yang lebih baik, tapi di sisi lain ada kecenderungan untuk menarik teks sebagai alat justifikasi liberalisme. Kedua model tersebut sebenarnya tidak mempunyai sikap tegas terhadap teks dan hanya sekadar menjadikan teks sesuai dengan kepentingannya.
Atas hal tersebut keduanya terjebak dalam pertentangan yang tidak berkesudahan, dan yang terjadi justru “perang antar teks”. Kelompok yang pertama menjadikan teks sebagai “baju fundamentalisme”, sedangkan kelompok yang kedua menjadikan teks sebagai “baju liberalisme”.
Islam Emansipatoris ingin melihat teks sebagai bagian dari realitas yang mempunyai keterbatasan. Keterbatasan tersebut bukan menunjukkan kelemahan teks, melainkan bukti keistimewaan manusia untuk menyikapinya.
Di sinilah pentingnya sudut pandang dan perspektif terhadap teks. Setiap pembaca teks sedapat mungkin melakukan diskoneksitas epistemologis (al-qathi’ah al-ma’rafiyah) dengan teks, tapi di sisi lain ia harus mampu melakukan kontekstualisasi (al-tawashul al-ma’rafy).
Pendekatan ini berangkat dari asumsi, bahwa persoalan mendasar tidak terletak pada teks, melainkan pada realitas empirik. Karena itu, yang mesti ditumbuhkan adalah kesadaran kritis terhadap realitas sosial yang sarat dengan penindasan, diskriminasi, dominasi, serta kritis terhadap segala bentuk eksploitasi teks yang akan menyeret kepada politisasi dan hegemoni penafsiran.
Dalam era modern, Islam Emansipatoris memandang, jika penindasan, diskriminasi dan dominasi merupakan hasil dari sistem dan ideologi modernitas. Modernitas di satu sisi dapat dianggap sebagai pendorong bagi pencerahan. Akan tetapi di sisi lain, modernitas tak mampu mendorong terhadap kesetaraan dan keadilan pada tataran praksis.
Modernitas merupakan koloni baru yang mesti disikapi secara kritis, dikarenakan menciptakan pandangan positivistik dan semakin jauhnya keadilan ekonomi. Ini berbeda dengan pola keberagamaan yang berkembang selama ini. Islam Fundamentalis dan Islam Liberal sangat menggantungkan dirinya kepada modernitas. Islam Fundamentalis menolak modernitas dengan alternatif kembali kepada pemahaman salaf, sedangkan Islam Liberal menjadikan modernitas sebagai satu-satunya perangkat bagi perubahan sosial.
Kedua gerakan tersebut lebih tepat disebut sebagai gerakan urban. Di sinilah, Islam Emansipatoris hendak mengukuhkan eksistensinya sebagai gerakan kerakyatan yang senantiasa kritis terhadap segala penindasan, baik yang diproduksi teks maupun yang diproduksi modernitas dengan tidak mengenyampingkan aspek-aspek positif dari modernitas.
Hal yang perlu dilakukan adalah mengapresiasi terhadap budaya lokal. Islam Emansipatoris mempunyai komitmen yang kuat terhadap budaya lokal, sehingga segala proses transformasi masyarakat tidak tercerabut dari akarnya. Ini sangat penting dalam rangka menggali kearifan lokal (local wisdom) yang selama ini tertimbun oleh budaya-budaya lain.
Apresiasi terhadap budaya lokal sebagai wujud akulturasi agama dan budaya, bahwa keberagamaan tidak hanya dibentuk teks dan wahyu, melainkan dibentuk dengan budaya lokalnya. Ini juga dalam rangka menyadarkan wujud keragaman budaya dalam keberagamaan.
Pentingnya menekankan aspek partisipasi dan aksi. Islam Emansipatoris mengimani bahwa proses perubahan masyarakat tidak bersifat top down, akan tetapi bottom up. Ini berbeda dengan keberagamaan yang dikembangkan, baik Islam Liberal maupun Islam Fundamentalis. Keduanya meyakini bahwa perubahan konstitusional merupakan satu-satunya perubahan dan transformasi masyarakat.
Islam Emansipatoris tidak terlalu yakin dengan kecanggihan teks, wacana, dan konstitusi. Secanggih apapun teks, wahyu, wacana dan konstitusinya, tidak bisa menjamin perubahan dan transformasi. Karena itu, Islam Emansipatoris sangat menekankan pentingnya partisipasi dan aksi pada tataran praksis. (*)