Wilwatekta.id – Setiap pemimpin negara mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda. Menyimak sepak terjang pemimpin terdahulu menjadikan contoh gaya kepemimpinan hari ini. Gaya kepemimpinan tersebut menjadi spirit bagi para pemimpin, tidak terkecuali pada pemimpin negara Indonesia. Kepemimpinan yang otoriter, diktator dan sentralistik selalu muncul dalam setiap kepemimpinan. Ruang masyarakat tertutup, harus mengikuti satu pintu. Intruksi presiden adalah takdir Tuhan. Penghianatan jika tidak membenarkan apa yang menjadi keinginan penguasa. Kepemimpinan seperti demikian sangat mirip sekali dengan gaya Hitler, Stalin, ataupun Musolini.
Masyarakat menjadi budak penguasa, atas kuasa yang dimiliki oleh gaya kepemimpinan seorang pemimpin. Dalam hal ini Karl Max memberikan pandangan bahwa, terbentuknya negara dideterminasi secara dialektis dalam proses sejarah pertentangan kelas dalam masyarakat. Sudah bukan rahasia bahwa, masyarakat menjadi korban penghisapan atas keserakahan penguasa. Isu bahwa masyarakat adalah satu alasan untuk percepatan pembangunan dalam memberikan kesejahteraan, malah membuat masyarakat menjadi termarjinalkan.
Jauh dari kata keadilan sebagai payung kehidupan mereka. Ruang hidup mereka dirampas atas ambisi seglintir orang. Masyarakat dianggap melawan konstitusi jika tidak mengamini keinginan negara atas dalih pembangunan kepentingan nasional. Seolah negara mengabaikan UU Hak Asasi Manusia (HAM). Masyarakat dianggap debu penghabat atas apa yang menjadi keinginan negara dalam melindungi kaum pemodal.
Masyarakat adalah kelompok rentan yang harus menyadari itu. Bahwa masyarakat hanya menjadi budak eksploitasi kaum borjuasi, kelas bermodal yang menguasai alat-alat produksi, terhadap kaum proletar, sementara nilai lebih (surplus value) komoditi-komoditi yang dihasilkan oleh kaum buruh memperkuat sistem produksi kapitalis. Dalam hal ini masyarakat menjadi kezaliman penguasa yang memaksakan kehendak atas ambisi kemajuan yang ditopang oleh kaum pemodal. Investasi ribuan triliun tercantum pada megainfrastuktur keseluruh penjuru Indonesia.
Dengan adanya peningkatan pembangunan, tapi konflik agraria juga meningkat. Mega proyek tersebut perlu dipertanyakan, dari negara untuk rakyat atau dari negara untuk investor. Karena masyarakat dianggap musuh oleh aparat negara. Sehingga kasus konflik agraria terus bertambah.
Mega proyek tersebut banyak menyebabkan masuknya investor. Karena kran investasi dibuka selebar-lebarnya untuk berinvestasi atas proyek tersebut. Proyek ini bisa dikatakan sebagai akses para pemodal untuk mengeruk kekayaan negara lebih besar. Dengan dalih investasi, maka akan semakin banyak aset negara Indonesia yanga akan keluar. Atas kuasa proyek besar ini, negara kita semakin dihisap. Hal ini pernah diprediksikan oleh Mbah Pram, ‘Negara Indonesia adalah negara kaya raya, tapi kita dijadikan budak di tanah kelahiran kita, kita dibuat miskin. Karena kekayaan kita bertahun-tahun telah dihisap. Pesan singkat ini adalah hal yang terjadi sampai hari ini.
Sebaran Investasi Proyek
Atas mega proyek infrastruktur ini pemerintah harus mengelilingi negara sahabat untuk mencari investor yang tertarik untuk berinvestasi atas proyek tersebut. Kran investasi dibuka lebar-lebar, negara asing bebas masuk untuk memberikan modal pembangunan kepada pemerintah Indonesia. Atas modal itu, tentu bukan barang gratisan yang meminta imbalan suka-suka. Tapi, ada nilai yang diminta kembali. Karena besaran investasi tergantung sebaran titik investasi tertanam. Melihat kekayaan Indonesia, tentu ini adalah kesempatan emas bagi kaum pemodal untuk masuk melalui kran investasi. Kita bisa melihat, bahwa proyek ini dari sabang sampai merauke; Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Papua.
Beberapa provinsi dan kabupaten kota ini, tertanam ribuan triliun investasi pembangunan. Artinya sebelum masa kontrak belum selesai, apa yang diraih oleh pemerintah pada hari ini masih belum menjadi milik negara Indonesia seutuhnya. Kita masih belum bisa berbangga atas capaian hari ini. Kondisi ini masyarakat tidak pernah tahu, walaupun pada hari ini kita disuguhi infrastruktur yang baik, tapi itu bukan milik pemerintah kita sendiri.
Proyek Nasional Atau Asing
Ambisi pembangunan ini tentu tidak terlepas dari negara besar yang pernah menjajah negara kita, penjajahan mewariskan mentalitas negatif, lemah, tidak kreatif untuk mengembangkan resourse, hanya megandalkan dari luar. Sehingga sampai hari ini kita masih disetir oleh kaum-kaum kapitalis. Lalu pertanyaan muncul, bagaimana kita bisa terlepas dari asing? Jangan biarkan derita warisan ini menjadi kelemahan kita untuk selalu bergantung pada asing. Sangat sulit kita untuk berubah bila kendali selalu kita serahkan pada pihak lain. Ini adalah sebuah fakta yang harus menjadi catatan kita bersama dalam melihat pelaksanaan pembangunan. Ketika negara melayani kelas-kelas berkuasa. Maka, kelas berkuasa merasa punya hak untuk mengatur dalam sebuah perjanjian yang mengeluarkan modal besar.
Disadari atau tidak pembangunan memang sebuah keharusan di tubuh Indonesia, tapi kenyataan ini tidak berbanding lurus pada cita-cita nasional untuk membuat Indonesia lebih maju. Karena hegemoni kolonialisame hingga saat ini masih belum mengalami pergeseran paradigmatik. Berbagai upaya dilakukan untuk keluar dari kekangan asing. Namun, sampai hari ini lingkaran ekononomi neoliberalisme masih sangat kuat bercongol di Indonesia. Sehingga lagi-lagi kita harus bergantung pada modal asing. Alih-alih memberikan kesejahteraan pada masyarakat, tapi malah dijadikan tumbal atas kesrakahan penguasa. (*)