WILWATEKTA.ID – Peningkatan inflasi tak terhindarkan oleh pasar global terhadap pertumbuhan ekonomi. Kejadian itu dialami seluruh negara, tidak terkecuali Indonesia. Salah satunya, merupakan dampak rambatan dari peningkatan inflasi global. Apalagi, harga komoditas melonjak beberapa waktu terakhir yang merupakan imbas dari bom-boman antara Rusia dan Ukraina yang mengganggu rantai pasok global. Infone Maszehhhh.
Berbagai pakar ekonomi memberikan pandangan bahwa dampak inflasi bisa bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Hal itu disampaikan oleh Gubernur BI Dody Budi Waluyo dalam acara LPPI Virtual Seminar, #72 bertajuk Exit Strategy untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi.
Dengan tantangan tersebut, Dody memandang perlu sinergi otoritas terkait dalam menjaga tingkat inflasi. Apalagi, inflasi ini erat kaitannya dengan daya beli masyarakat. Bila daya beli tergerus, konsumsi rumah tangga akan berkurang, sehingga ini menjadi batu sandungan bagi prospek pertumbuhan ekonomi.
Melihat potensi tersebut, tentu nilai tukar rupiah juga akan terjun bebas. Karena semua barang import dikurskan dengan dolar. Dan ketika barang import yang sudah dijual di pasaran, bisa dipastikan menggunakan rupiah. Secara otomatis, harga barang import akan naik berlipat-lipat. Huhw, berat-berat.
Misalnya begini, nilai tukar rupiah terdepresiasi 50 persen, tentu harga barang ini akan naik. Naiknya bakal double (dua kali lipat), pertama karena terpengaruh inflasi global dan kedua dari depresiasi nilai tukar rupiah, “lek jare wong jowo, dwek gak enek ajine, opo-opo larang“.
Akbibat proses ekonomi yang mengalami depresi, secara otomatis inflasi global akan sangat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi RI. Hal itu meningkatkan inflasi domestik khususnya pangan dan energi, pupuk, serta input produksi yang menyebabkan kelangkaan, dan juga berdampak pada fiskal sutainbility (berkelanjutan).
Banyaknya tantangan yang sudah didepan mata sudah cukup dirasakan oleh masyarakat Indonesia selama beberapa minggu terakhir. Mulai dari naiknya harga Pertamax, minyak goreng (mahal dan langka). Kemudian info yang ter gress, tabung Gas Elpiji 3 Kg dan BBM jenis Pertalite juga akan menyusul naik.
Dalam laporan bertajuk Asian Development Outlook 2022 yang diluncurkan Rabu (6/4), lembaga tersebut memperkirakan inflasi Indonesia akan berada di kisaran 3,6 persen year over year (YoY), “Peningkatan harga komoditas, termasuk minyak dan gandum, serta pemulihan ekonomi yang mendorong permintaan, akan meningkatkan inflasi.
Sementara itu pada, 17/02/2022 – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia perlu mewaspadai lonjakan inflasi global terutama dari negara-negara maju, dalam menyusun Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2023.
“Seperti diketahui, Amerika mencapai 7,5 persen inflasinya pada bulan Februari ini, dan ini akan mendorong kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas,” kata Menkeu dalam Keterangan Pers Menteri terkait Hasil Sidang Kabinet Paripurna, Rabu (16/02).
Sebenarnya bisa diperbaiki kondisi ekonomi Indonesia. Jika negara tidak memiliki hutang cukup besar. Terus, maksimalkan potensi hasil panen masyarakat lokal dan mengajarkan pejabat negara mencintai produk Indonesia. Sehingga ekonomi Indonesia mampu diselamatkan dan masyarakat mencukupi kebutuhan. Pemerintah jangan hanya terfokus pada mengkerdilkan Demokrasi dengan isu presiden tiga periode terus-terusan. Seolah negara harus kembali pada jaman orde baru. Sistem pemerintahan sentralistik dan otoriter. Alih-alih ingin memberikan kesejahteraan. Malah menjerumuskan negara pada utang luar yang sangat besar. Jangan sampai, inflasi ekonomi menjadi bagian alat politik opu dan kawan-kawan. Fokus pada ekonomi rakyat dulu. Ngeh.
Jika dikaji secara ekonomi politik, Benjamin Friedman punya jawaban ciamik tentang melemahnya kekuatan demokrasi. Dalam bukunya yang berjudul The Moral Consequences of Economics Growth, Benjamin memostulasikan bahwa jika perekonomian sebuah negara mengalami stagnasi ekonomi, bahkan resesi, gerakan kanan, baik kanan religius atau gerakan supernasionalis yang cenderung non demokratis, akan bersemi.
Namun, jika ekonominya tumbuh, justru gerakan liberal progresif akan berkembang pesat. Misalnya seperti menguatnya isu pemerataan ekonomi (inequality), feminisme, antidiskriminasi, antirasisme, gender, LGBT, dan sejenisnya.
Harus diakui bahwa memang banyak positifnya jika ekonomi tumbuh progresif ketimbang stagnan. Apalagi resesi. Sebagaimana tendensi yang diamati Benjamin Friedman, demokrasi memang harus ditopang oleh prosperity (kemakmuran) agar dinamikanya stabil dan semakin mapan. Yang paling terpenting Indonesia mampu melewati inflasi ekonomi global. Pokoknya fokus.
Jangan fokus, presiden tiga periode terus. Hmmmm. Pegel Pak De masyarakate.