WILWATEKTA.ID – Mahasiswa yang kritis selalu merasa mempunyai tanggungjawab sosial. Apalagi jika melihat kondisi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Hampir dipastikan, mereka melakukan demonstrasi. Namun parahnya, perjuangan tulus dalam menyampaikan aspirasi masyarakat selalu dianggap mencari sensasi. Kemudian ada juga yang bilang, demonya ada yang menunggangi (lagu lama). Walah, pokok serba salah jadi mahasiswa pergerakan. Gak demo dibilang tumpul, lakukan demo, dianggap jadi tunggangan kepentingan politik. Serba salah.
Untungnya mahasiswa pergerakan sudah punya mental baja. Mau dibilang apapun gak ngaruh. Tetap jalan, tangan terkepal dan maju kemuka. Patah semangat, semangat gak patah-patah. Hehe.
Dari sana, saya jadi teringat saat masih menjadi anggota pergerakan. Doktrin yang diberikan pada anggota kurang lebih demikian, “diskusi bendino ora wani demo, namuleh macol wae. Mahasiswa kok ora wani demo,” seloroh seorang senior.
Mendengar perkataan tersebut membuat dada terasa tratapan. Seolah ingin melempar batu kemukanya. Bagaimana tidak, lagi bangga-bangganya jadi mahasiswa kok. Masak ndak kritis aja, suruh pulang nyangkol. Apa kata orang tua saya. Sudah dikuliahkan mahal-mahal, masih balik ke habitatnya.
Kembali pada mahasiswa demonstrasi yang dianggap cari sensasi dan ada yang nunggangi. Well, nggak. Kami gak mau rusuh.
Boleh saja gak percaya pada mahasiswa pergerakan, tapi saya yakinkan ini bukan klaim yang mengada-ada. Mahasiswa sebenarnya sangat menghindari yang namanya rusuh. Bagaimana dengan citra kami sebagai mahanya para siswa. Isin noh, cheos.
Kalau ada yang tanya kenapa gak suka rusuh, karena sebelum kami melakukan aksi mengirim surat pemberitahuan ke polisi. Selain itu, juga minta restu pada senior. Walaupun kadang gak direstui. Tapi bagi kami, yang namanya pro_kontra itu hal biasa. Siapapun bebas memberikan penilaian.

Karena secara undang-undag harus mengirimkan surat pemberitahuan ke pihak penegak hukum. Soal minta restu ke-senior, itu bagian dari etika. Karena mungkin, mereka punya saran yang masuk. Walaupun kadang, gak mashoook.
Masak iya, kalau gak diijini gak demo. Kan sudah minta persetujuan kesemua pihak. Artinya kami sudah gugur kewajiban. Gak jadi demo, “tanya pada rumput yang bergoyang.”
Intinya, kami yang dianggap sebagai agen perubahan. Kalau sudah ada niat turun jalan, pasti brangkat. Gaspol, rem blong. Hehe.
Kalau boleh jujur, sebenarnya cukup susah nanggepin orang sumbu pendek. Panjenengan sedoyo harus menggakui. Masyarakat Indonesia bisa menghirup udara bebas, menyampaikan pendapat di depan umum, hidup berdampingan berbagai lapisan. Itu karena peran mahasiswa yang selalu berani menyuarakan ketidak adilan. Bayangkan saja, jika kediktatoran yang pernah dilakukan Presiden Soeharto selalu tumbuh. Sekali anda bersuara, hilang tinggal nama.
Jangan salah, setiap kita demo. Banyak Whatshap yang masuk. Ia kalau diajak nyate menthok. Isinya ancaman. Hmmm, ngeri-ngeri sedap.
Banyak resiko yang harus kita ambil. Ingin menegakkan keadilan, diancam, gak bergerak, mahasiswa cacingan. Pokok isinya hanya meme cacian. Mahasiswa kurang gawean, disekolahno duwur-duwur gak ndwe sopan santon. Mbhoooh, keluar semua bahasa planet tanpa batas.
Belum lagi perkataan alumni, demone monoton, gak kritis, kader goblok, gak valid datanya. Haduhh, serasa dunia mau kiamat. Ada saja paidunya.
Okey lah. Semua bisa kita terima. Mahasiswa punya kewarasan yang lebih, dari pada kewarasan lainnya. Setiap masukan atau cacian yang muncul. Kita anggap itu bentuk kasih sayang pada kita. Kurang baik apa lagi coba. Sudah dicaci, dihina. Ehhh, anggapan kita sebagai bahan evaluasi. Semoga kedepan lebih baik dan tetap semangat.
Jadi sebenarnya beban mental. Tapi bagimana lagi, kita dianggap sebagai agent of change (agen perubahan). Setiap ada kebijakan yang tidak sesuai visi-misi pemimpin, harus berani menyuarakan. Soal berhasil atau tidak, pokok berani menyuarakan.
Nah, sebenarnya gak masalah kalau ada yang mengatakan, mahasiswa demo hanya cari sensasi, demonya ada yang nunggangi dan seterusnya. Tapi pertanyaan saya, maunya apa toh ini orang?. Kok serba salah jadi mahasiswa pergerakan. Apa-apa kok dikomentari, sebenarnya sih udah gak kaget. Yang penting demi tujuan bersama tetap tersampaikan. Persoalan dihargai atau tidak, wallahu alam bishawab.