Belakangan ini teman saya resah menggunakan jilbab. Pasalnya, banyak dari gaya hidupnya yang menurut kebanyakan orang dianggap jauh dari agama Islam. Misalnya, jalan-jalan ke pantai dan berfoto mesra dengan beberapa pria, kemudian berkumpul bersama teman-teman pria di sebuah kafe ternama. Sering dia ditegur agar mengurangi pergaulan lawan jenis, mengingat statusnya sebagai wanita berjilbab.
Karena risih ditegur banyak orang, pernah suatu hari dia memutuskan melepas jilbabnya. Dan yang terjadi, cacian makin banyak diterima. Akun media sosialnya mulai dibanjiri komentar-komentar bernada negatif saat dirinya mengunggah foto tidak berjilbab. Perasaannya menjadi kacau dan bingung harus berbuat apa. Di satu sisi, dia menginginkan gaya hidup yang bebas bercengkrama tanpa ada batasan. Dan di sisi yang lain, dia dituntut menjadi wanita Islami yang diharuskan menjaga jarak pergaulan.
Kebanyakan orang mempunyai standar terhadap wanita yang beragama Islam, yaitu memakai jilbab dan lemah lembut dalam tingkah laku. Mereka tidak bisa menerima orang moderat dan berada di tengah-tengah, yang tidak bias dikelompokkan. Misalnya, orang beragama Islam, tapi tidak percaya Tuhan. Orang yasinan, tapi percaya maulid itu bid’ah. Dan tentu saja, orang berjilbab dengan lingkar pergaulan bebas. Pemahaman ini sudah turun temurun dan terus menjadi keyakinan pada generasi selanjutnya.
Saya percaya, iman itu mempunyai tingkatan dan tidak bias dipaksakan. Anak kelas 1 SD yang tidak paham unsur kimia tidak boleh ditertawakan. Pun karena tidak belajar unsur kimia, kita tidak boleh menganggap pelajaran itu sesat.
Permasalahan sederhana yang sering terjadi adalah prinsip saling menghina. Di mana kimiawan menertawakan kiyai yang tidak paham pelajaran sains. Dan begitu pula sebaliknya, agamawan menghina seorang saintis yang tidak pandai berbahasa Arab. Keadaan ini membuat Islam kian terpecah oleh penghinaan-penghinaan yang dilakukan sesama umatnya.
Sepertinya hijrah di zaman sekarang mengalami pergeseran makna. Para perempuan mendadak memakai jilbab panjang, menjaga tingkah laku sedemikian rupa, dan membatasi jumlah pergaulan yang ada. Saya sebetulnya tidak masalah dengan semua gaya itu. Yang saya permasalahkan adalah sikap ujub yang mereka miliki. Rasanya sangat jahat untuk bersikap demikian. Bukan berarti dia yang sudah memakai jilbab bisa menghina orang sepuasnya.
Ketika ada seorang pelacur hamil meminta Nabi Muhammad untuk merajam dirinya, tidak lantas permintaan itu dikabulkan Nabi. Nabi Muhammad berkata kalau dia akan dihukum setelah anaknya lahir.
Ternyata setelah anak itu lahir, perempuan itu meninggal. Kemudian Nabi meminta para sahabat untuk mengurus si jenazah wanita tersebut seperti kebanyakan jenazah Islam lainnya. Akan tetapi, salah satu sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah perempuan ini seorang pelacur? Mengapa dia mendapat perlakuan yang sama seperti orang Islam pada umumnya?”
Nabi menjelaskan bahwa wanita tersebut sudah bertaubat secara sungguh-sungguh, bahkan jauh sebelum ia meninggal.
Kisah di atas menjadi pelajaran kita bersama, bawah belum tentu orang yang dianggap tidak baik pakaiannya, jelek di mata Tuhan. Ada unsur taubat yang bisa merubah semuanya. Pun ada unsur keikhlasan yang tidak bisa kita nilai sebagaimana mestinya manusia. Ketulusan dalam bertaubat hanya bisa dinilai oleh Allah Swt. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk melihatnya.
Saya setuju, jika tidak memakai jilbab di mata agama adalah salah. Namun sebagai manusia, dia berhak memilih untuk memakai jilbab atau tidak. Setiap perempuan merdeka atas dirinya. Berhak tidak dipaksa untuk mengenakan jilbab. Begitu pula berhak untuk tidak dilarang mengenakan jilbab.
Sebenarnya dosa tidak memakai jilbab tidak hanya terjadi satu arah–pada diri perempuan itu sendiri. Akan tetapi, dosa berlaku dua arah, yaitu untuk perempuan dan untuk laki-laki yang menikmatinya. Perkara menutup aurat sudah menjadi kewajiban perempuan. Dan kewajiban menjaga pandangan adalah kewajiban bagi laki-laki. Keduanya dikenai kewajiban yang sama agar saling menjaga.
Lebih dari itu, sebenarnya kesalehan beragama tidak hanya dinilai dari penampilan saja. Ada ribuan aspek yang perlu diperhatikan untuk menjadi manusia yang mulia. Termasuk menjaga nilai-nilai sosial menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan. Karena jika hanya bentuk penampilan yang menjadi tujuan, kesalehan hanya nampak pada penglihatan manusia. Tujuan ibadahnya hanya untuk pamer dan sombong semata.
Maka, kesalehan beragama yang harus dijadikan tujuan adalah kesalehan perilaku, hati, dan juga penampilan. Ketiganya menjadi indikator penting yang harus terus menerus dijaga. Saleh perilaku bisa mendatangkan keikhlasan dari manusia lainnya, dan itu artinya ridho dan rahmat Tuhan akan lebih mudah didapatkan.