Wilwatekta.id – Kesekian kali, Ramadan tahun ini harus di tanah perantauan, Hongkong. Tugas seorang anak untuk membantu meringankan beban orang tua, itulah yang menuntun raga jauh terhempaskan ke negeri sebrang. Berat? Tentu. Bagaimana perasaan seorang yang dipisahkan dari orang tua, apalagi mau menjelang ramadan, bulan berkumpulnya seluruh personil keluarga secara lengkap. Sedih tentunya.
Meskipun raga kami tersekat jarak, namun komunikasi tetap semerbak. Aku berterima kasih dengan adanya internet, dimana kehadirannya menjadi selimut antara kita. Memberi kehangatan. Walaupun jarak mengambil peran antagonis dalam episode peluk kasih.
Sepenggal percakapan via watsap pagi tadi aku habiskan menceritakan berulang-ulang aktivitasku di sini. Meski aku yakin ibu sudah mendengarnya berulang kali. Namun ia tetaplah seorang ibu, mendengarkan celoteh tanpa mengeluh. Ia sangat memahami, itu pertanda aku sangat merindukannya.
“Bunda bentar lagi ramadan. Aku punya sayembara, bakalan ada emas kalau berhasil khataman al-qur’an minimal satu kali. Mau?” Selorohku sambil cekikan di voisnot.
Gelagak tawa terdengar saat pesan suara aku terima.
“Bunda pengen tertawa mendengar pesanmu, menggiurkan. Doakan ya!”
“Iya Bunda tahu ibadah harus ikhlas. Kalau ada hadiah bolehlah buat memacu semangat, etapi kalau gagal berarti hangus?” Imbuhnya.
“Iya atuh. Mangkanya semangat! Ingat, sayembara akan gagal kalau tidak memenuhi syarat.” Jawabku.
Aku bukanlah seorang anak yang paham arti balas budi. Apalagi terhadap orang tua sendiri. Aku juga buta akan besarnya cinta mereka. Tapi, yang aku tahu hanya berbuat sebaik yang dibisa.
“Makasih ya, Neng. Semoga berhasil.” Tutupnya.
Aku masih ingat cerita; betapa perih yang engkau rasakan tatkala harus menyimpan ASI-mu. Ketika tuntutan kerjaan memaksamu bergegas meninggalkan peraduanmu, mengasihiku.
Juga waktu yang membawamu tatkala aku mulai tumbuh balita, tak mengindahkan hadirmu. Maaf.
Ia adalah pahlawan pertama, wasilah aku ada di dunia. Membesarkan dengan peluh, kasih sayang juga cinta. Ia bukan berasal dari keturunan paham agama. Tersebab itu, membawaku ke tempat belajar agama adalah pilihannya. Dan dari sini aku belajar budi pekerti juga keluhuran hati.
Aku tak kuasa menjudge takdir, terlahir dari keluarga seperti apa. Seperti dawuh seorang guru bahwa takdir Tuhan bukan untuk di hujat, tapi untuk diterima dengan hormat.
Tak mengapa jika tahun ini harus ditahan rindunya setahun lagi, sebab Pandemi membuat segala peraturan berubah. Rencana membeli tiket pulang sebelum ramadan harus terkubur dan sirna.
Mungkin saja, kondisi ini bukan aku saja yang mengalami. Diluar sana banyak PMI (Pekerja Migran Indonesia) yang juga gagal menuntaskan rindu di kampung halaman.
Lewat sebuah kata yang ku tulis ditengah pengalaman gerimis, di hari pertama bulan Ramadan.
“Bunda semoga engkau bahagia menjadi ibuku”