WILWATEKTA.ID – Beberapa hari ini saya melihat jari lentur netizen cukup aktif mengomentari pemberitaan media mainstream maupun alternatif soal isu keretakan hubungan bupati Aditya Halindra Faridzky dan wakil bupati Riyadi.
Saya pun mencoba mencari tahu soal isu tersebut pada banyak teman yang ada di Tuban. Sekadar untuk memastikan saja. Sebab saya tidak mau terjebak pada dua kubu yang saling membela. Tapi kalau saya ditanya pilih kubu yang mana, saya jawab: Kulo nderek Kamituo Wilwatekta. Insya Allah sohih (maacih lho Pak Kamituo transferannya, jadi mangat nulis deh). Heuheu.
Sebagai milenial yang kelewat bijaksana, saya pun harus melihat isu keretakan hubungan Mas Bupati Lindra dengan Pak Wabup Riyadi ini secara sederhana dan dengan tempo yang selambat-lambatnya.
Masalah sikap
Kenapa sudut pandangan sikap ini penting. Sebab, dari sikap itulah kita bisa melihat akar masalah. Sehingga kita tidak menjadi manusia yang baperan.
Begini, Jika dirunut dari akar katanya, sebab semua juga masih katanya. Isunya keretakan antara bupati dan wabup baru ini bermula dari prosesi pelantikan. Masyarakat Tuban dikejutkan dengan pelantikan wabup yang dilakukan secara virtual. Sementara bupati dilantik langsung—secara tatap muka oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di Gedung Grahadi Surabaya.
Katanya, sebelum pelantikan hasil swab Pak Riyadi dinyatakan hampir mendekati positif ((hampir)). Soal hasil tes swab ini sudah banyak ditulis oleh media arus utama, lengkap dengan kronologisnya, sehingga tidak perlu saya tulis ulang. Pun soal ketidakhadiran bupati dan wakil bupati pada sidang paripurna persetujuan sejumlah rancangan peraturan daerah (raperda) yang kemudian membuat sebagian anggota DPRD baper itu.
Kembali pada masalah sikap. Kebijaksanaan seorang pemimpin itu bisa dilihat bagaimana dia bersikap. Misalnya, bagaimana Mas Bupati menyikapi insiden pelantikan wabup yang hanya berlangsung virtual. Pun bagaimana Pak Wabup dalam bersikap.
Dari pemberitaan yang muncul. Mas Bupati sepertinya memilih last—bertahan. Sementara Pak Wabup, kelihatannya ingin counter attack—menyerang. Itu tampak dari komentarnya di media yang menjelaskan bahwa kronologis dirinya dinyatakan positif Covid oleh tim medis dari Puskesmas Rengel, itu seakan janggal. Hingga akhirnya dia melakukan tes swab mandiri, dan hasilnya negatif.
Oke, dari sini mulai bisa disimpulkan sendiri.
Berikutnya, di hari kedua masuk kerja. Baik bupati maupun wabup kompak tidak datang untuk menghadiri rapat paripurna persetujuan raperda di DPRD. Dari pemberitaan media, sehari sebelumnya Pak Wabup sudah menyampaikan bahwa dirinya akan hadir di rapat paripurna bersama wakil kita yang terhormat di gedung dewan itu. Tapi kemudian tidak ada yang hadir.
Bagaimana sikap dari keduanya—Mas Bupati dan Pak Wabup. Kali ini dua-duanya belum memberikan penjelasan kepada media. Sepertinya, keduanya sama-sama silent.
Melihat situasi yang seperti ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, belum ada wartawan yang mewawancarai blio berdua. Kedua, blio berdua memilih untuk diam sembari melihat publik mengomentari. Baru, setelah pada moment yang tepat, bisa jadi blio berdua akan berkata: “Kita berdua baik-baik saja. Publik saja yang suka menggoreng isu supaya kami bertengkar.” Hahaha.
Harmonis itu tidak harus kemana-mana bersama
Kalau indikator pasangan harmonis itu kemana-mana harus bersama, maka banyak pasangan yang bisa dikatakan tidak harmonis. Pun dengan bupati dan wabup. Harmonis tidak harus selalu bersama. Koenjti harmonis adalah saling mengisi dan komunikasi.
Pertanyaannya sekarang. Sudahkah di waktu tiga hari pertama kerja ini saling mengisi dan komunikasi?
Oke. Mari kita amati.
Dari kasus pelantikan yang tidak bersama, karena alasan Covid. Apakah keduanya sudah saling komunikasi. Minimal, Mas Bupati watsap ke Pak Wabup, menanyakan kabar kondisi kesehatan Pak Wabup. Soal keduanya apakah sudah saling telponan dan watsapan, mungkin hanya blio berdua dan Tuhan yang tahu.
Lalu bagaimana masyarakat bisa menilai. Ya kita menunggu komentar dari blio berdua. Adakah komentar blio yang disampaikan ke publik? Minimal, membuat status watsap atau instastory, yang menampil poto mereka berdua saat masih kampanye, lalu Mas Bupati menuliskan status: “Tetap semangat Pak Wabup, kita bisa lalui ini bersama.” Cie… kompaknya.
Dari sini bisa dicerna dan dipahami ya? Bagaimana hubungan keduanya di hari-hari pertama menjabat. Bisa dong, masa nggak bisa dipahami. Jangan malu-maluin Wilwatektamania deh ah!
Masalah kewenangan
Masalah kewenangan wakil bupati bisa menjadi alasan pasti bahwa wabup tidak memiliki banyak peran dalam urusan pemerintahan.
Di banyak daerah, dalam praktiknya, tugas dan wewenang wakil bupati itu diatur secara khusus dalam Peraturan Bupati (Perbup) ((kalo ada yang memiliki Perbup tentang Tugas dan Kewenangan Bupati Tuban bisa share)).
Artinya, ya serah bupati dong, ngaturnya gimana. Mau dikasih wewenang atau tidak itu hak bupati. Yang jelas dan pasti, tugas wakil bupati itu hanya membantu bupati. Misal, membantu memberikan usulan atau pendapat, membantu mengevaluasi jalannya pemerintahan, dan membantu-membantu yang lain. Pada dasarnya membantu.
Nah, kan. Bagaimana kalo bupati masih mampu menjalankan semua sendiri, sehingga tidak perlu bantuan wabup? Ya, nggak masalah sih. Selama mampu ya, fine-fine saja.
Etapi, zamannya Bupati Fathul Huda dan Wakil Bupati Noor Nahar Hussein kok bisa kompak gitu ya? Malahan sampai dua periode lho.
Bismillah, semoga yang baik-baik dari bupati sebelumnya bisa menjadi contoh.